Banda Aceh (ANTARA) - Dosen IAIN Ar Raniry Banda Aceh Nurjannah Ismail menilai, perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin dan mengemban jabatan publik dalam Islam, jika didukung kemampuan intelektual dan moral kuat.
"Kepemimpinan perempuan memegang jabatan publik sah-sah saja, tentu harus didukung kemampuan dan moralitas yang bagus," katanya di Banda Aceh, Jumat.
Pernyataan itu disampaikan menyusul adanya polemik tentang kepemimpinan perempuan di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh beberapa waktu lalu, di mana kalangan DPRK di sana mempermasalahkan Camat Plimbang dijabat oleh perempuan, Anisa, dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Nurjannah, ada dualisme pemahaman ulama dalam menanggapi boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin publik.
Sebagian ulama berpandangan kepemimpinan perempuan dalam jabatan publik sah-sah saja, asal didukung oleh kemampuan dan moralitas yang bagus.
"Hal itu termaktub dalam Al Quran baik dalam surat Annisa? ayat 32, Annahlu ayat 23, dan At-Thaubah ayat 71," katanya.
Sebagian lagi berpandangan bahwa perempuan tidak boleh memimpin dan itu merujuk pada salah satu hadits yang ditanggapi sangat sempit.
"Karena itu, mari kita mencernanya dengan baik agar syariat Islam itu tidak diartikan dalam konteks yang sempit pula. Yang pastinya, selama perempuan memiliki kapasitas yang bagus, kenapa tidak," ujar Nurjannah.
Dikatakan, ancaman pencopotan terhadap Camat Plimbang dijabat Anisah tidak mendasar dan tidak perlu dipersoalkan, karena ia diterima oleh masyarakatnya.
Semua pihak diharapkan jangan terlalu mempersoalkan dari jenis kelamin seorang pemimpin, tetapi bagaimana pemimpin itu bisa mengembangkan daerah dipimpinnya dan mensejahterakan rakyat.
Seorang aktivis perempuan di Aceh, Sri Wahyuni dalam diskusi lintas partai digelar di sebuah cafe di Banda Aceh, Kamis (14/10), meminta ulama meluruskan pandangan yang menjadi polemik selama ini, tentang kepemimpinan perempuan.
"Ini merupakan persoalan klasik yang harus kita selesaikan bersama. Ulama harus turun serta untuk memberikan pandangan konstruktif apa adanya," katanya.
"Kepemimpinan perempuan memegang jabatan publik sah-sah saja, tentu harus didukung kemampuan dan moralitas yang bagus," katanya di Banda Aceh, Jumat.
Pernyataan itu disampaikan menyusul adanya polemik tentang kepemimpinan perempuan di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh beberapa waktu lalu, di mana kalangan DPRK di sana mempermasalahkan Camat Plimbang dijabat oleh perempuan, Anisa, dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Nurjannah, ada dualisme pemahaman ulama dalam menanggapi boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin publik.
Sebagian ulama berpandangan kepemimpinan perempuan dalam jabatan publik sah-sah saja, asal didukung oleh kemampuan dan moralitas yang bagus.
"Hal itu termaktub dalam Al Quran baik dalam surat Annisa? ayat 32, Annahlu ayat 23, dan At-Thaubah ayat 71," katanya.
Sebagian lagi berpandangan bahwa perempuan tidak boleh memimpin dan itu merujuk pada salah satu hadits yang ditanggapi sangat sempit.
"Karena itu, mari kita mencernanya dengan baik agar syariat Islam itu tidak diartikan dalam konteks yang sempit pula. Yang pastinya, selama perempuan memiliki kapasitas yang bagus, kenapa tidak," ujar Nurjannah.
Dikatakan, ancaman pencopotan terhadap Camat Plimbang dijabat Anisah tidak mendasar dan tidak perlu dipersoalkan, karena ia diterima oleh masyarakatnya.
Semua pihak diharapkan jangan terlalu mempersoalkan dari jenis kelamin seorang pemimpin, tetapi bagaimana pemimpin itu bisa mengembangkan daerah dipimpinnya dan mensejahterakan rakyat.
Seorang aktivis perempuan di Aceh, Sri Wahyuni dalam diskusi lintas partai digelar di sebuah cafe di Banda Aceh, Kamis (14/10), meminta ulama meluruskan pandangan yang menjadi polemik selama ini, tentang kepemimpinan perempuan.
"Ini merupakan persoalan klasik yang harus kita selesaikan bersama. Ulama harus turun serta untuk memberikan pandangan konstruktif apa adanya," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar